1. Apa yang dimaksud dengan ketenagakerjaan dan
hukum ketenagakerjaan?
Pengertian Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan adalah segala hal
yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah
masa kerja.
Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
NEH van Asveld
menegaskan bahwa Pengertian Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang
bersangkutan dengan pekerjaan di dalam hubungan kerja dan di luar hubungan
kerja.
Menurut
Molenaar Pengertian Hukum Ketenagakerjaan ialah bagian dari hukum yang berlaku
di suatu negara, yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan buruh
dan antara buruh dan penguasa.
Soetiksno
memberikan pendapat mengenai Pengertian Hukum Ketenagakerjaan merupakan
keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan
seorang secara pribadi ditempatkan di bawah pimpinan (perintah) orang lain dan
keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja
tersebut.
Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
menurut Prof. Imam soepomo diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan,
baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di
mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
2.
Ada 4 syarat perjanjian diatur dalam pasal 1320
KUH perdata dan UU 13 Ketenagakerjaan, coba sebutkan!
1.)
Adanya kesepakatan kehendak (Consensus,
Agreement)
Dengan syarat kesepakatan kehendak
dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap saah oleh hukum, kedua belah pihak
mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh kontrak tersebut.
Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak
terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut.
a)
Paksaan (dwang, duress)
b)
Penipuan (bedrog, fraud)
c)
Kesilapan (dwaling, mistake)
Sebagaimana pada pasal 1321 KUH
Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena
kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2.)
Wenang /
Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)
Syarat wenang berbuat maksudnya
adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang
berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana pada pasal 1330 KUH Perdata
menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali
undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak
cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata,
yaitu
a)
Orang-orang yang belum dewasa
b)
Mereka yang berada dibawah pengampuan
c)
Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang
No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini
menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan
masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Syarat sah yang objektif berdasarkan
pasal 1320 KUH Perdata
Disebut dengan syarat objektif
karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi hukum apabila tidak
terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak yang dibuat batal
demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak tersebut telah batal.
3.)
Obyek / Perihal tertentu
Dengan syarat perihal tertentu
dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan hal yang tertentu,
jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam
pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH Perdata menentukan
bahwa
“Hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”
Sedangkan pasal 1333 KUH Perdata
menentukan bahwa
“Suatu perjanjian harus mempunyai
sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya
Tidaklah menjadi halangan bahwa
jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan /
dihitung”
4.)
Kausa yang diperbolehkan / halal / legal
Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak
haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi
tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak
bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).
Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang
dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang
adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
3.
Apakah yang dimaksud dengan PKWT (Perjanjian
Kerja untuk waktu tertentu) atau lazim disebut pekerja kontrak dan apakah yang
dimaksud PKWTT (Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu). Apakah yang
membedakan karyawan tetap dan karyawan kontrak? Berapa lama masa kontrak yang
diperbolehkan oleh undang- undang?
PKWT
Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan,
yang sekali selesai/bersifat sementara
Selesai paling lama 3 tahun
Bersifat musiman
Berhubungan dengan produk baru,
kegiatan baru, produk tambahan dalam percobaan.
Perpanjangan:
Dapat diperpanjang 1 kali untuk
jangka waktu paling lama 1 tahun. Perpanjangan didahului pemberitahuan 7 hari
sebelumnya.
Pembaruan:
Setelah berakhirnya PKWT yang lama,
pembaruan hanya 1 kali paling lama 2 tahun. Pembaruan dilakukan 30 hari setelah
berakhirnya PKWT.
PKWTT
Dapat mensyaratkan masa percobaan 3
bulan
dalam masa percobaan pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum
Perjanjian kerja berakhir jika:
1.)
Pekerja meninggal dunia
2.)
Berakhirnya jangka waktu perj. Kerja
3.)
Putusan pengadilan/putusan atau penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
4.)
Adanya keadaan/kejadian tertentu yang tercantum
dlm Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama.
4.
Apakah dalam UU ketenagakerjaan No 13 2003
sudah diatur mengenai outsorcing? Apa keuntungan bagi perusahaan yang
menggunakan outsorcing? Mengapa banyak pihak terutama pekerja dan serikat
pekerja menolak sistem outsorcing dan kontrak?
5.
Apakah yang dimaksud PKB dan apa maksud tujuan
dibuatnya PKB?
A.
Perjanjian kerja bersama (PKB) adalah
perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat
buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau
beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban kedua belah pihak. (Pasal 123)
B.
Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara SP / SB atau
beberapa SP / SB yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
(Pasal
1, point 2, Kepmenakertrans No.48/2004)
C.
Perjanjian Kerja Bersama
yaitu perjanjian yg merupakan hasil perundingan antara SP/SB yg memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah
Masa berlaku PKB :
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja
bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya paling
lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian
kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum
berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
(4) Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepatan maka perjanjian
kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu)
tahun.
Perjanjian kerja bersama paling
sedikit memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat
pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai
berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat
perjanjian kerja bersama.
Ketentuan dalam perjanjian kerja
bersama tidak boleh bertentangan dengan peratuaran perundang-undangan yang
berlaku apabilabertentangan maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal
demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan.
Perjanjian kerja bersama berlaku
pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama
tersebut.
Perjanjian kerja
bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja bersama
selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
6.
Apa yang dimaksud UMK?
Upah Minimum
adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku
industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau
kerjanya. Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi berbeda-beda,
maka disebut Upah Minimum Propinsi.
-
Apa yang menjadi acuan penentua upah minimum si
duatu daerah?
penentua
upah minimum si duatu daerah berdasarkan usulan
dari Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan
Daerah (sekarang Dewan Pengupahan Provinsi atau Kab/Kota) dengan
mempertimbangkan; kebutuhan hidup pekerja, indeks harga konsumen, pertumbuhan
ekonomi, kondisi pasar kerja dsbnya.
-
Apakah perusahaan wajib memberikan upah minimum
kepada pekerja?
Sesuai
dengan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ,pegusaha yang
tidak membayarkan upah sesuai ketentuan UMP dianggap sebagai pelaku kejahatan
dengan ancaman sanksi penjara dari satu hingga empat tahun dan denda minimal
Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta.UMP yang ditetapkan merupakan gaji pokok
bagi pekerja yang masih belum menikah dan punya masa kerja 0-12 bulan. Dalam
hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya
upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah
pokok dan tunjangan tetap.
-
Apakah pengusaha boleh memotong upah pekerja?
Jika
pengusaha tidak mampu membayar sesuai ketentuan upah minimum, apakah pekerja
berhak menuntut pemenuhannya?
Jawaban
1
Beberapa
praktisi beranggapan bahwa upah tidak boleh diturunkan/dikurangi karena
berpegang pada konteks secara harfiah/eksplisit dalam Ps. 17 KEPMENAKER No. 1
Thn 1999 yang menyebutkan bahwa “Pengusaha yang telah memberikan upah yang
lebih tinggi daripada upah minimum yang berlaku, dilarang menurunkan/mengurangi
upah.” Namun dalam konteks pasal tersebut ada makna implisitnya yang harus
dicermati, yaitu tidak boleh menurunkan upah lebih kecil daripada upah minimum
yang berlaku. Jika berpegang pada makna tersebut maka bisa diartikan bahwa upah
bisa saja turun selama ada dasarnya. Berikut hal-hal yang mendasari upah dapat
diturunkan/dikurangi:
1.
Dasar filosofis atau kondisi sebab - akibat
Unsur
utama hubungan industrial adalah adanya pekerjaan, adanya perintah kerja dan
adanya upah. Adanya karyawan yg bekerja / berproduksi / KINERJA dan adanya
pengusaha yg memberi upah / gaji. Realitas bahwa "KINERJA KARYAWAN"
adalah dinamis bisa meningkat dan/atau menurun baik karena faktor lain atau
faktor yang disebabkan oleh karyawan tersebut sendiri. Idealnya adanya keseimbangan
dinamika antara kinerja dan upah karyawan. Jadi dengan alasan keseimbangan,
keadilan, dan menciptakan suasana kompetisi yg sehat, dapat diartikan bahwa
"UPAH KARYAWAN JUGA BISA TURUN atau NAIK (Adanya Reward dan Punisment).
2.
Alasan aturan
Sebagaimana
diutarakan pada Ps. 17 KEPMENAKER No. 1 Thn 1999 adalah dalam konteks UPAH
MINIMUM. Dalam konteks lain, ada pemahaman/anjuran dari Menaker yang dituangkan
dalam SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 untuk alasan survival dan mencegah PHK massal
anjuran pertama adalah "Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat
atas, misalnya tingkat Manajer dan Direktur ; Kalimat ini dengan tegas
memperbolehkan upah untuk diturunkan (Apapun levelnya, tetap statusnya adalah
karyawan). Jika melihat pada konteks ini, artinya ada prosedur-prosedur yang
harus dilakukan oleh perusahaan yang dijadikan dasar menarik/menurunkan upah.
Alasan-alasan yang digunakan pun harus sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Aspek
lain yang perlu diperhatikan adalah pengertian tentang upah. Pada Ps. 1 PP No.
08 Thn 1981 Ttg Perlindungan Upah dijelaskan bahwa:
“Upah
adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari Pengusaha kepada buruh untuk
sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau
dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau
peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja
antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri
maupun keluarganya”.
Kemudian
dijelaskan pada Ps. 54 (1) UU No. 13/2003 Ttg Ketenagakerjaan bahwa upah adalah
bagian dari perjanjian kerja.
Perjanjian
kerja adalah salah satu produk hukum yang sah. Syarat sahnya perjanjian secara
umum diatur dalam Pasal 1320 BW (KUHPerdata) adalah:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal/legal.
Dari
syarat-syarat yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Syarat
Subyektif serta Syarat Obyektif. Kesepakatan serta Kecakapan merupakan syarat
Subyektif, sehingga jika hal ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang telah
dibuat dapat dibatalkan. Sedangkan suatu hal tertentu serta sebab yang halal
merupakan syarat obyektif, sehingga jika hal ini tidak dipenuhi maka perjanjian
yang telah dibuat batal demi hukum.
Aspek
berikut yang perlu dipahami adalah pengertian dari “Perjanjian”. Perjanjian
diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu
“suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih”. Berbeda dengan perikatan yang merupakan suatu
hubungan hukum, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum
itulah yang menimbulkan adanya hubungan hukum Perikatan, sehingga dapat
dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan.
Perikatan
adalah suatu hubungan hukum diantara dua orang atau dua pihak, dimana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang
lainnya itu berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak
menuntut dinamakan kreditur (si berpiutang), sedangkan pihak lainnya yang
berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur (si berhutang).
Suatu
perikatan bisa timbul baik karena perjanjian maupun karena Undang-Undang (UU).
Dalam suatu perjanjian, para pihak yang menandatanganinya sengaja menghendaki
adanya hubungan hukum diantara mereka – menghendaki adanya perikatan. Motivasi
tindakan para pihak adalah untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang
akan mengatur hubungan mereka, sehingga inisiatif munculnya hak dan kewajiban
perikatan itu ada pada mereka sendiri. Beda halnya dengan perikatan yang
bersumber pada UU, dimana hak dan kewajiban yang muncul bukan merupakan
motivasi para pihak melainkan karena UU yang mengaturnya demikian. Dalam hal
ini, perjanjian kerja dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang lahir karena
motivasi para pihak. Kenapa demikian? Karena perjanjian kerja tersebut
dilakukan karena ada keinginan dari para pihak (pengusaha/perusahaan/majikan
dan karyawan/pekerja) untuk mengikatkan diri dalam hubungan hukum. Perjanjian
dapat diubah sepanjang adanya kesepakatan para pihak dalam perjanjian tersebut.
Merujuk
kembali pada Ps. 54 ayat 1 UU No. 13 Thn 2003 tersebut, bahwa upah adalah salah
satu komponen dalam perjanjian kerja, apabila kita memandang aspek dari
pengertian perjanjian sebagaimana dijelaskan diatas, maka perjanjian dapat
diubah apabila ada kesepakatan antara para pihak yang bersangkutan. Jadi, upah
yang menjadi salah satu klausul dalam sebuah perjanjian bisa saja
diturunkan/dikurangi sepanjang memang ada kesepakatan dari pihak
perusahaan/pengusaha dan pihak karyawan. Secara aturan, tidak ada aturan yang
jelas dan tegas yang melarang upah diturunkan/dikurangi. Namun demikian, ada
dasar-dasar hukum sah yang harus diberikan oleh pihak
perusahaan/pengusaha/majikan apabila kebijakan tersebut harus terpaksa
dilakukan.
Jawaban 2
Pada
prinsipnya dalam hukum ketenagakerjaan tidak melarang perusahaan untuk tidak
membayar upah pekerja jika memenuhi ketentuan pasal 93 ayat (1) uu no. 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan (“UUK”). dalam pasal tersebut diatur bahwa upah
tidak dibayar apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan. Hal ini merupakan asas
yang dianut oleh UUK sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal 93 UUK bahwa
pada dasarnya semua pekerja yang tidak bekerja tidak dibayar (no work no pay),
kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan
bukan karena kesalahannya.
Jadi
suatu perusahaan dapat tidak membayarkan atau memotong gaji/upah pekerjanya
dalam hal pekerja tersebut tidak masuk kerja sehingga menyebabkan yang
bersangkutan tidak melakukan pekerjaannya.
Pengecualian
dari asas no work no pay terdapat dalam Pasal 93 ayat (2) UUK yang menyatakan
bahwa pengusaha tetap wajib membayar upah apabila pekerja tidak dapat melakukan
pekerjaannya dalam hal pekerja sakit, pekerja wanita yang mengalami datang
bulan, menikah, mengkhitankan, isteri melahirkan, keguguran kandungan,
suami/istri/anak/menantu/mertua atau anggota keluarga yang meninggal dan
hal-hal lain yang dapat dilihat di Pasal tersebut.
Mengenai
perhitungan besaran potongan upah atau denda karena ketidakhadiran atau karena
alasan lainnya diatur di dalam Peraturan Perusahaan (PP) dan/atau Perjanjian
Kerja Bersama (PKB) atau Perjanjian Kerja (PK).
Selanjutnya
pemotongan upah pekerja tidak boleh melebihi 50 persen dari setiap pembayaran
upah yang seharusnya diterima dimana hal ini merujuk kepada pasal 24 ayat [1]
jo ayat [2] dalam PP No. 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah. Setiap syarat
yang memberikan wewenang kepada pengusaha untuk mengadakan perhitungan lebih
besar daripada yang diperbolehkan adalah batal menurut hukum seperti
diterangkan dalam pasal 24 ayat [3] PP No 8 Tahun 1981.
-
Apa saja alasan yang syah bagi pekerja sehingga
tetap mendapatkan upah walaupun tidak masuk kerja, apa sanksi bagi pengusaha
yang tidak membayar upah pekerja yang sakit/tidak masuk kerja karena alasan
yang syah?
Alasan
Setiap
pekerja berhak untuk memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan
Upah
minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1
(satu) tahun
Peninjauan
besarnya upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun
Pengusaha
dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh
laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Pengusaha
wajib membayar upah kepada buruh, Jika buruh sendiri sakit sehingga tidak dapat
melakukan pekerjaannya.
Pengusaha
wajib membayar upah kepada buruh, Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal-hal
sebagaimana dimaksud dibawah ini, dengan ketentuan sbb :
a.
Pekerja menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b.
Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c.
Menghitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
d.
membabtiskan anak, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
e.
Isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
f.
Suami/Isteri, Orang tua/Mertua atau anak/menantu meninggal dunia, dibayar untuk
selama 2 (dua) hari dan
g.
Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 hari
Pengusaha
wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang tidak dapat
melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban negara, jika dalam
menjalankan pekerjaan tersebut buruh tidak mendapatkan upah atau tunjangan
lainnya dari pemerintah tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.
Pengusaha
wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat menjalankan
pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut agamanya selama waktu
yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3 (tiga) bulan.
Pengusaha
wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan pekerjaan yang
telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakan baik karena
kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.
Apabila
upah terlambat dibayar, maka mulai hari keempat sampai hari kedelapan terhitung
dari hari dimana seharusnya upah dibayar, upah tersebut ditambah 5% (lima
persen) untuk tiap hari keterlambatan. Sesudah hari kedelapan tambahan itu
menjadi 1% (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan bahwa
tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen)
dari upah yang seharusnya dibayarkan.
Dalam
hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang harus didahulukan pembayarannya.
(UU
13/2003, PP 8/1981 & PERMEN 01/1999)
Sanksi
Berikut
ini berupa pasal dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang sanksi-sanksi
atas pelanggaran yang berkaitan dengan upah :
1.) Bila pengusaha
membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang ditentukan (sesuai ketentuan
pasal 90 ayat I), sanksinya (pasal 185) yaitu pidana penjara paling singkat 1
tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100 juta dan
paling banyak Rp. 400 juta.
2.) Bila pengusaha
tidak membayar upah pekerja/buruh yang tidak melakukan tugas karena
alasan-alasan pada pasal 93 yang seharusnya pengusaha wajib membayarnya,
sanksinya (pasal 186) yaitu pidana paling singkat 1 bulan dan paling lama 4
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10 juta paling banyak Rp. 400 juta.
3.) Bila pengusaha
tidak membayar upah pekerja untuk kerja lembur sesuai ketentuan pasal 78 maka
sanksinya (pasal 187) yaitu pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 10 juta dan paling
banyak Rp. 100 juta.
4.) Bagi pengusaha
yang tidak membayar upah pesangon pekerja karena mencapai usia pensiun sesuai
ketentuan pasal 167 ayat 5 maka sanksinya adalah (pasal 184) pidana penjara
paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp. 100 juta,- dan paling banyak Rp. 500 juta,-.
5.) pengusaha yang tidak membayar upah pekerja
yaitu upah lembur sesuai ketentuan pasal 78 ayat 2 dan upah kerja lembur pada
hari libur resmi sesuai ketentuan pasal 85 ayat 3 maka sanksinya (pasal 187)
yaitu pidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 1 tahun dan /atau
denda paling sedikit Rp. 10 juta,- dan paling banyak Rp. 100 juta,-.
6.) Bagi pengusaha
yang tidak membayar upah pekerja yang mengambil istirahat karena cuti sesuai
ketentuan pasal 78 ayat 1 maka sanksinya mengikuti ketentuan pasal 187 yaitu
pidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 1 tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10 juta,- dan paling banyak Rp. 100 juta,-.
7.) Bagi pengusaha
yang tidak membayar upah pekerja karena cuti melahirkan dan cuti keguguran
sesuai ketentuan pasal 82 ayat 1 dan ayat 2 maka sanksinya mengikuti ketentuan
pasal 185 yaitu pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 100 juta,- dan paling banyak Rp. 400 juta,-
7.
Apa yang dimaksud BPJS. Program BPJS meliputi
apa saja? Apakah semua karyawan berhak menuntut BPJS? Termasuk karyawan kontrak
siapakah yang menanggung jaminan kecelakaan terhadap karyawan yang masuk
program BPJS? Siapa yang menanggung iuran JKK,JKM dan berapa iurannya?
BPJS adalah salah satu bentuk perlindungan
sosial suatu perlindungan bagi tenaga kerja/karyawan dalam bentuk santunan
berupa uang sebagai pengganti berkurang atau hilangnya penghasilan dan berupa
pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja
berupa kecelakaan, meninggal,dan hari tua.
No comments:
Post a Comment